Demokrasi Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia
Nama : Ayuvianti
NPM : 13209528
Kelas : 2ea16
Sistem Politik Indonesia telah mempraktikkan beberapa system politik atas nama demokrasi. Demokrasi sendiri berasal dari bahasa Yunani, yaitu demos yang berarti ‘rakyat’ dan kratos yang berarti ‘pemerintahan’. Demokrasi di sini dapat diartikan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Sistem demokrasi politik, mau tidak mau akan mempengaruhi tata cara Pemilu yang ada di Indonesia. Demokrasi Pemilu di Indonesia sudah dilakukan sebanyak 10 kali. Pemilu di Indonesia diadakan pada tahun 1955. Kisah sukses pemilu tahun 1955 akhir, tak bisa dilanjutkan dan hanya menjadi catatan emas sejarah Indonesia.
Berikut ini paparan mengenai pemilu di Indonesia :
· Pemilu 1955
Pemilu 1955 merupakan Pemilu yang pertama kali dilakukan di Indonesia sejak kemerdekaan Republik Indonesia pada 1945, jarak 10 tahun sebelum diadakannya Pemilu. Pemilu pertama berhasil dilaksanakan dengan aman, lancer, jujur, dan adil serta demokratis. Bahkan, Pemilu pertama ini mendapat pujian dari Negara asing.
Pemilu ini diikuti oleh sekitar 30 partai dan lebih dari seratus daftar kumpulan dan calon perorangan. Pemilu 1955 dilakukan untuk dua keperluan, yaitu memilih anggota DPR dan memilih anggota dewan konstitusi.
· Periode Demokrasi Terpimpin
Demokrasi Terpimpin diawali dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sebuah keputusan presiden untuk membubarkan konstituante dan pernyataan kembali UUD 1945 yang diperkuat angan-angan Presiden Soekarno menguburkan partai-partai. Dekrit itu kemudian mengakhiri rezim demokrasi dan mengawali otoriterianisme kekuasaan di Indonesia, yang meminjam istilah Prof. Ismail Sunny sebagai kekuasaan negara bukan lagi mengacu kepada democracy by law, tetapi democracy by decree.
Otoriterianisme pemerintahan Presiden Soekarno makin jelas ketika pada 4 Juni 1960 ia membubarkan DPR hasil Pemilu Indonesia 1955, setelah sebelum dewan legislatif itu menolak RAPBN yang diajukan pemerintah. Presiden Soekarno secara sepihak dengan senjata Dekrit 5 Juli 1959 membentuk DPR-Gotong Royong (DPR-GR) dan MPR Sementara (MPRS) yang semua anggota diangkat oleh presiden.
Pengangkatan keanggotaan MPR & DPR, dalam arti tanpa pemilihan, memang tak bertentangan dengan UUD 1945. Karena UUD 1945 tak memuat asal usul tentang tata cara memilih anggota DPR dan MPR. Tetapi, konsekuensi pengangkatan itu ialah terkooptasi kedua lembaga itu di bawah presiden. padahal menurut UUD 1945, MPR ialah pemegang kekuasaan tertinggi, sedangkan DPR neben atau sejajar dengan presiden.
Sampai Presiden Soekarno diberhentikan oleh MPRS melalui Sidang Istimewa bulan Maret 1967 (Ketetapan XXXIV/MPRS/1967) setelah meluas krisis politik, ekonomi dan sosial pasca kudeta G30 S/PKI yang gagal semakin luas, rezim yang kemudian dikenal dengan sebutan Demokrasi Terpimpin itu tak pernah sekalipun menyelenggarakan pemilu. Malah thn 1963 MPRS yang anggota diangkat menetapkan Soekarno, orang yang mengangkat, sebagai presiden seumur hidup. Ini ialah satu bentuk kekuasaan otoriter yang mengabaikan kemauan rakyat tersalurkan lewat pemilihan berkala.
· Pemilu 1971
Pemilu kedua diadakan pada 5 Juli 1971 setelah 4 tahun Soeharto menjadi Presiden. Waktu itu, ketentuan tentang partai (tanpa UU) kurang lebih sama dengan yang diterapkan Presiden Soekarno. Perbedaan Pemilu kedua denganyang pertama adalah pada pemilu pertam 1955, pejabat Negara yang berasal dari partai bias ikut menjadi calon partai secara formal.
Sementara itu, pada pemilu kedua 1971, pejabat Negara diharuskan bersikap netral. Namun, praktiknya tidaklah demikian. Para pejabat Negara berpihak pada satu partai, yaitu Golkar.
· Pemilu 1977, 1982, 1987, 1999, dan 1997
Sejak Pemilu kedua, Pemilu berikutnya terlaksana secara lancar. Dalam pelaksanaan Pemilu sejak 1997, terjadi pengurangan partai. Hanya ada tiga partai, yaitu Golkar (Golongan Karya), PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan), dan PPP (Partai Persatuan Pembangunan)
Dalam 5 kali Pemilu ini, hasil pemenangnya sama, yaitu Golkar. PDIP dan PPP, seperti terlihat hanya sebagai pelengkap. Pada Pemilu 1997, terjadi kerusuhan karena kecurangan hasil suara yang terjadi di beberapa daerah . puluhan kotak suara dibakar. Di beberapa tempat, diadakan Pemilu ulang.
· Pemilu 1999
Setelah Presiden Soeharto lengser pada 21 Mei 1998, kursi presiden diganti oleh wakil presiden pada waktu itu, yaitu Bachruddin Jusuf Habibie. Atas desakan rakyat, Pemilu akhirnya dipercapat diikuti oleh 48 partai.
· Pemilu 2004
Pada Pemilu sebelumnya, rakyat hanya memilih partai. Presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR yang anggota-anggotanya dipilih oleh presiden. Namun, pada pemilu 2004, rakyat langsung memilih presiden dan wakilnya, pada Pemilu sebelumnya pemilihan presiden dan wakilnya dilakukan secara terpisah.
Pemilu 2004 diikuti oleh 24 Partai dan dibagi menjadi 3 tahap, yaitu sebagai berikut :
a. Pemilu Legislatif, dilaksanakan pada 5 April 2004, yaitu Pemilu yang dilakukan untuk memilih partai politik, diikuti oleh 24 partaipolitik dengan anggota yang akan dicalonkan menjadi anggota DPR, DPRD, dan DPD
b. Pemilu presiden putaran kedua, pada 5 Juli 2004 dilaksanakan untuk memilih calon presiden dan wakil presiden secara langsung.
c. Pemilu presiden putaran ketiga, pada 20 September 2004 adalah tahap terakhir yang dilaksanakan apabila tahap kedua belum ada calon presiden dan wakilnya yang mendapatkan suara paling tidak 50 persen.
b. Pemilu presiden putaran kedua, pada 5 Juli 2004 dilaksanakan untuk memilih calon presiden dan wakil presiden secara langsung.
c. Pemilu presiden putaran ketiga, pada 20 September 2004 adalah tahap terakhir yang dilaksanakan apabila tahap kedua belum ada calon presiden dan wakilnya yang mendapatkan suara paling tidak 50 persen.
· Pemilu 2009
Pemilu yang dilaksanakan pada 8 Juli 2009. Adalah Pemilu yang dilakukan kedua kalinya, rakyat langsung memilih presiden dan wakilnya. Pemilu ini diikuti sebanyak 38 partai politik dan dimenangi oleh Susilo Bambang Yudhoyono – Budiono.
Penjelasan tentang Demokrasi Modern dan Pemilu di Indonesia
Demokrasi Modern menurut definisi aslinya adalah bentuk pemerintahan yang di dalamnya banyak keputusan pemerintah atau di belakang kebijakan yang menimbulkan keputusan itu lahir dari suara terbanyak yakni dari mayoritas di pemerintahan atau di belakang kebijakan yang menimbulkan keputusan itu lahir dari suara terbanyak, yakni dari mayoritas di pemerintahan (consent of a majority of adult governed).
Namun batasan konseptual yang mudah difahami tentang “demokrasi” adalah, suatu proses dari system penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan suatu negara yang dijalankan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Sedang batasan operasional dari “demokrasi” adalah, bagaimana indikator demokrasi berjalan sebagaimana mestinya. Dan itu dapat diketahui dengan mengukur dan mempertanyakan indikator demokrasi tersebut, seperti :
1. Tingkat sehat tidaknya penyelenggaraan Pemilu ;
2. Tentang sehat tidaknya bangsa ini atau tokoh-tokoh politik dalam bermusyawarah (negosiasi);
2. Tentang sehat tidaknya bangsa ini atau tokoh-tokoh politik dalam bermusyawarah (negosiasi);
3. Tentang sehat tidaknya partisipasi rakyat dalam mempengaruhi kebijakan publik suatu Pemerintahan ;
4. Tentang sehat tidaknya hak-hak wakil rakyat dipergunakan dalam mengkontrol jalannya pemerintahan, seperti : hak angket, hak budget, hak interplasi, hak amandemen dan hak-hak lainnya.
Untuk mengukur suatu negara demokratis atau tidak, harus diukur dari batasan atau definisi operasi tentang demokrasi, bukan dari definisi konsep dari demokrasi itu. Sudah menjadi fakta sejarah demokrasi di Indonesia yang ada selama ini serasa jauh dari ruh atau tondi dari demokrasi itu sendiri. Hal ini dapat diketahui dari :
1.Partisipasi rakyat dapat dibeli dengan uang ;
2.Pemilu dari masa kemasa penuh dengan kecurangan ;
3.Pamer kekuatan massa menjadi kebanggaan dari banyak partai-partai politik untuk melakukan tekanan-tekanan ;
4.Saat bangsa ini atau tokoh-tokokh politik berbeda pendapat di dalam bermusyawarah atau bernegosiasi maka perbedaan tersebut menjadi bibit permusuhan ;
5.hak-hak DPR sebagai mekanisme kontrol terhadap Pemerintah tidak berjalan sebagaimana mestinya ;
6.Cita-cita jadi anggota Legislatif tidak diragukan apakah didasarkan pada Nasionalisme yang bertujuan akan memperjuangkan cita-cita bangsa ini sebagaimana terdapat di dalam alinea ke IV Pembukaan UUD 1945 .
Namun dalam proses itu semua harus dilakukan melalui Penegakan Hukum Yang Baik dan tersedianya Sumber Daya Manusia dalam penegakan hukum (Law Enforcement) yang diiringi adanya kesadaran seluruh rakyat bangsa Indonesia untuk selalu patuh dengan hukum terutama dalam pesta demokrasi. Fakta yang ada adalah, bangsa ini miskin pendidikan, miskin partisipasi politik karena hak suaranya telah dibeli, miskin keamanan dan kebebasan dalam hidup rukun berdampingan dan miskin keadilan serta kepastian hukum dalam setiap penyelenggaraan Pemilu. Rakyat yang miskin bukanlah hal yang ideal untuk diajak berdemokrasi apalagi ditengah carut-marutnya penegakan hukum, maka dalam situasi seperti ini mustahil tujuan negara Indonesia dapat tercapai dengan baik, mustahil demokrasi dan pemilu berjalan mulus tanpa ada kecurangan. Bahkan pembangunan cenderung berdampak sebaliknya yaitu membuat rakyat semakin miskin, merusak system dan prilaku sosial dan merusak lingkungan hidup serta merajalelanya budaya korupsi yang semakin sulit dicegah. Bukankah fakta yang ada, dimana Indonesia dikenal sebagai sebuah negara dengan Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah, namun rakyatnya miskin ditengah-tengah kekayaannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar